Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Minggu, 21 November 2010

Antara Kamu dan Piano

Alarm kamarku berbunyi, tepat pukul 04.30. Jam bentuk babi warna hitam putih memecah keheningan pada pagi itu. Aku segera beranjak dari tempat tidur kesayanganku. Seperti biasa membereskan tempat tidur, cuci muka, belajar sebentar , bantu-bantu mamah dan siap-siap ke sekolah . Inilah awalku untuk memulai hari ini. Senang rasanya masih bisa mensyukuri pagi yang indah dan sejuk ini, burung berkicau bersahut-sahutan, sang mentari yang mulai menampakkan sinarnya, dan embun pagi yang menyejukan mata. Tak henti kuucapkan syukur pada Sang Pencipta Yang Maha Agung.

“Ra, Ara.” Itu suara Mamah yang memanggilku.
“Iya, Mah.” Jawabku dengan nada setengah kaget.
“Ada apa, Mah?”
“Tolong bantu mamah siapkan sarapan.”
“Oke, Mah.”
Mamah dan aku selalu kompak dalam segala hal, kadang aku suka keras kepala sih, tapi karena mamahku yang jago ngrayu bisa luluh juga deh aku. Aku sayang banget sama mamah, mamah selalu bisa ngertiin aku. Tapi mamah selalu adil sama putri-putrinya, aku punya adik cewe, namanya Dia, Diara Permata Putri. Adikku ini lucu, cerewet dan nggegemesin banget, maklum masih umur 6 tahun. Sedangkan namaku Alviora Damara Putri sekarang aku duduk di kelas X SMA.
“Ka Ara, berangkat yuk!” Ajak Dia pada sambil memegang roti bakar coklat kesukaannya.
“Oke cantik.”
~*~

“Ra, ke kantin yuk!” Ajak Vega dan Mita.
“Yuk, cap cus.” Seruku dengan semangat, melihat perutku yang sudah kerocongan karena tiga jam tadi pelajaran matematika yang hanya membuat otakku pecah.
Ara, Vega dan Mita tiga sekawan yang selalu bersama. Karena kita udah sahabatan sejak SD hingga sekarang masih tetap bersama. Semoga persahabatan kami akan tetap abadi.
“Pesen apa, Veg, Mit?” Tanyaku kepada mereka.
“Biasa ajalah.” Jawab Mita.
“Bu, bakso 3, es teh 3, yang satu ngaa pake ijo-ijo.” Pesanku kepada Ibu Kantin yang selalu sabar menanggapi ocehan kami.
“Ngga pake ijo-ijo lo Bu.”
“Iya bawel”
Kebiasaan Vega yang nggak suka sama ijo-ijo alias sayur. Sampai hafal kita sama kebiasaan Vega, bahkan bukan hanya Vega, Mitapun aku hafal. Dia kalau lagi makan pedes minumnya nggak cukup satu gelas, bisa sampai dua gelas. Kalau aku, hheemm, jangan ditanya banyak banget kebiasaanku, dari yang negatif sampai positif. Biasanya aku kalau ngomong lupa titik koma, makannya banyak tapi nggak bisa gendut-gendut, suka banget sama yang namanya musik. Kami bertiga sangat memahami karakter satu sama lain, kami juga bisa saling memahami, karena kita sudah terbiasa bersama sejak kecil. Bermain bersama, berbagi cerita, baik itu suka maupun duka, pokoknya kalu satu diantara kita ada yang punya masalah kita selesaikan bersama, sebisa mungkin kita bantu karena kita adalah satu dalam persahabatan.
~*~

Bel sekolah berbunyi manandakan kegiatan belajar mengajar hari ini telah usai. Semua siswa SMA Harapan Bangsa berduyun duyun meninggalkan sekolah. Seperti biasa aku dan Vega berjalan meninggkalkan kelas dan menghampiri kelas Mita. Karena Mita tidak sekelas dengan aku dan Vega.
“Veg, Ra, jalan yuk! Penat , sumpek, mikir pelajaran, duh ampun lah.” Ceroscos Mita yang cerewet minta ampun.
“Ayuk, tapi Ra, sekarang kan hari Rabu, kamu ada les kan?”
“Iya ni, biasa nanti jam 3 aku les piano. Gimana dong?” Inilah kegiatanku sepulang sekolah setiap hari Rabu dan Sabtu sore, aku disibukan dengan les piano yang sudah menjadi hoby dan telah membawaku meraih bermacam prestasi.
“Eh, gimana kalau kita perginya abis Ara pulang les aja. Lagian besok classmeetkan? Terus abis jalan kita foto-foto. Okehh? Gimana gimana?”
“Siipp, good idea! Nanti kalian jam 5 udah di tempat lesku yahh. Oke, say!”
“Okee deeh.” Triak kita bertiga.
Ya inilah kebiasaan kita, jalan-jalan dan foto-foto, karena kami bertiga ini gila kamera atau bisa di bilang narsis tingkat tinggi. Hihi...
“Udah yuk, katanya mau pulang, udah sepi tuh parkiran.” Ajakku karena sudah tidak sabar pengen pulang dan merebahkan badan yang serasa remuk.
~*~

“Ara, latiannya cukup sampai sini dulu yah, kita lanjutkan besok sabtu. Oiya jangan lupa siapkan mental dan lagu-lagu yang akan kamu bawakan bulan depan untuk konser musik itu.”
“Baik Om, Ara pulang dulu yah.”
Tadi itu Om Wawan guru les pianoku. Aku les piano sejak pertama kali duduk di bangku SD kelas 1. Sebenarnya aku sudah lulus les piano sejak kelas 9 SMP, tapi karena cita-citaku menjadi master piano dan ingin tetap belajar, sehingga aku melanjutkan les ini sampai aku benar-benar bisa berguna dalam dunia musik. Banyak prestasi yang kuukir dari bermain piano, dari festival musik klasik, lomba mewakili sekolah, lomba musik tingkat nasional, dan masih banyak lagi lomba-lomba yang kuikuti. Banyak juga festival yang aku ikuti. Ini semua berkat kegigihanku dan berkat mamah yang pertama kali mengenalkanku dengan piano.
Les piano telah usai, berarti Vega dan Mita telah menungguku. Segera kutinggalkan piano yang sejak tadi menjadi pendamping jemariku dalam memainkan alunan nada-nada yang menenangkan jiwa.
“Ara, lama banget sih? Katanya jam 5. Jam berapa nih?” Vega mulai marah-marah. Inini si Vega, anak yang nggak sabaran, apalagi kalau suruh nunggu, udah de, bawaanya marah terus.
“Oke cantik.” Sahut Mita dengan lesung pipit pada pipi kanannya saat dia tersenyum manis.
“Iya sip. Ayo kita mau kemana dulu nih? Keburu sore loh?” Tanyaku dengan nada menggebu-gebu.
“Gimana kalau makan dulu, laper. Hehe”
“Yee, ni Vega, kalau masalah perut aja langsung tanggap, dasar perut karet.”
“Apa, kamu juga iyalah. Weeeee.”
“Udah-udah, yuk ke tempat biasa aja yah, yang murah dan nggenyangin.” Biasa, Mita selalu menjadi penengah disaat aku dan Vega sedang berdebat.
Seneng banget bisa jalan bertiga lagi, karena selama ini kami disibukkan dengan tugas yang cukup menguras otak dan tenaga kita. Sekarang waktu yang tepat buat jalan-jalan, besok udah classmeet yang kegiatannya cuma lomba-lomba yang menurutku nggak jelas.
Ara, Vega, dan Mita, mulai beraksi, dimulai dari tempat makan yang udah jadi tempat nongkrong kita, setelah energi terisi penuh dilanjutkan dengan konser bersama alias karokean di tempat biasa, nyaman dan enaklah pokoknya tempatnya, biasanya kita nyanyiin lagu yang lagi sesuai sama suasana hati kita. Mita, yang lagi sedih, karena baru putus seminggu yang lalu. Vega, lagi dalam masa penantian, hubungan Vega dan Dito yang nggambang nggak jelas alias hubungan tanpa status. Dan aku, hehe, lagi jatuh cinta ni. Biasa anak muda zaman sekarang ada ada ajah. Okee kembali ke topik semuala, kalau udah karokean nggak lupa sama yang namanya foto-foto. “Ra, Veg, Mit, tolong dong fotoin, gantian yah, ntar abis aku, kamu, ini nih kamu di sini, ehh di situ lucu tuh.” Huff kalimat cerewet yang biasa kita ucapin kalau lagi foto-foto.
Nanananaa ...... Lalalalala .......... Nananannaa ............. Lalalalala ......
Kita lagi asyik asyiknya nyanyi, tiba tiba handphoneku bergetar dan berbunyi bipp.. bipp..
Ara,
Lagi ngapain?
Sender:
~Arda
+6285740001112


“Hey, Guys, Arda sms aku, yeyeyeyee.”
“Ihiiy, senengnya, liat coba smsnya.” Tanya Mita penuh semangat.
“Emm, ada apa ya? Ko tanyanya gini? Bales apa nih?”
“Udah bales aja, nggak ada ko, ehem ,ehem.”
Arda, cowok yang berhasil membuatku terpikat, tapi hanya sekedar MENGIDOLAKAN nggak lebih. Aku naksir dia sejak pertama masuk SMP dan sekarang bersekolah di SMA yang sama. Udah baik, pinter, cakep, sederhana, pinter main drum lagi, apa yang kurang coba, perfect banget lah pokoknya. Baru di smsin dia aja udah seneng banget, dagdigdug nggak karuan. Gimana kalo ditembak? Bisa mati berdiri kali yah? Eettttss , sampe lupa bales nih.


Lagi jalan ni sama Vega, Mita.
Besok? Nggak ko .
Kenepa Da ?
Delivered to
~Arda:
+6285740001112


Seperti biasanya, duduk manis di depan piano kesayanganku, jemari-jemariku memainkan lagu berjudul Proud Of You, it’s my favorite song. Dentingan piano menghiasi malam yang sunyi dan senyap. Sendiri terpaku tanpa kata, hanya sebuah nyanyian lirih yang terucap dari bibirku.

“Stars in the sky, wishing once upon the time.
Give me love, make me smile, 'till the end of life.
Hold me up, hold me tights, lift me up to touch the sky.
Teaching me to love with heart, helping me open my mind.
I can fly, I'm proud that I can fly.
To give the best of mine, 'till the end of the time.
Believe me I can fly, I'm proud that I can fly
To give the best of mine, the heaven's in the sky”
Pikiranku melayang jauh membayangkan sosok yang terlukis dalam lagu tersebut. Andai seorang itu adalah Arda yang datang dengan kuda putih dan penuh cinta, betapa beruntungnya diriku. Haha, tiba-tiba aku tertawa kecil dan tersentak dalam hati “NGGAK MUNGKIN”. Ara, Ara, Ara, ayo jangan bermpimpi terlalu jauh, pikirkan masa depanmu, sekolahmu, dan terlebih tentang pianomu. Semangat Ara, semangat! Saat terbangun dari lamunanku yang cukup panjang tak sadar handphone kesayanganku terlihat tulisan di layar 5 missed call, dan waw ternyata ARDA.
“Aduh, bodo banget si aku, pake acara ngayal segala, ada telfon sampe ngga denger, aduh, gimana ini, gimanaaa? Ayo daa telfon lagi, ayoo dong. Ara kamu udah nglewatin kesempetan berharga nih, duh aduh.”
Panik setengah mati aku, kan kan, baru di telfon udah gugup gini, itu aja telfon ngga jadi ko. Sabar, sapa tau telfon lagi. Aku tunggu 10 menit, 15 menit, 17 menit, dan yah 30 menit kemudian hapeku berdering. Taraa, Arda menelfonko lagi.
“Hallo.”
“Hallo Ara, emm, ngganggu yah?
“Eee, engga ko. Ada apa Da, tumben telfon.”
“Ini, aku tadi abis dapet kabar, sekolah kita mau ada pertukaran pelajar. Nah, kebeneran banget pertukaran pelajarnya dikhususkan untuk siswa yang berprestasi di dunia seni. Aku langsung kepikiran kamu, soalnya ini sifatnya buru-buru, siapa cepat dia, dapet. Kesempatan ini sebenarnya ditawarin buat aku tapi aku ngga boleh sama orang tuaku. Jadi aku ganti kamu aja. Gimana Ra?”
“Hahh? Beneran? Aku bingung, nanti aku tanya mamah dulu. Kemana emang pertukarannya?”
“Australia.”
“Apahhhh? Australi. Duuh, jauh banget, nanti dulu deh aku pikir-pikir.”
“Iya ngga harus sekarang ko keputusannya, itu juga harus dipikirin matang-matang.”
“Iya, makasi yaa infonya.”
“Okee, ehh lagi ngapain Ra?”
“Lagi .............”
...........................................
Bla-bla-bla, pembicaraan itu tersambung dengan topik lainnya. Nggak sadar Arda telfon aku cukup lama, yaah, lumayan deh, bisa mbikin kuping panas, tapi senen
~*~

Setelah mendengar informasi dari Arda aku mulai diselimuti oleh rasa bimbang, walau mamah mengatakan terserah dan mendukung semua keputusanku tetapi apa yang harus kupilih? Meninggalkan Indonesia untuk sementara waktu demi mengejar cita-citaku menjadi seorang pianist atau? Atau apa? Apa yang membuatku menjadi bimbang? Apa? Apa yang sebenanya aku rasakan aku nggak tahu apa yang aku rasaian sekarang ini. Tuhan, apa yang sebenarnya aku pikirkan? Apa yang menjadi bebanku ? Apa yang menyebabkanku merasa sulit untuk berpisah dengan duniaku sekarang ini?
Vega dan Mitapun bingung dengan sikapku. Mereka tahu kalau aku mempunyai cita-cita terbesar menjadi seorang best pianist. Ini kesempatanku untuk mendapatkannya, tetapi kenapa aku bisa seperti ini, merasa ragu dengan pilihan yang menjadi tujuan hidupku.
“Ra, gimana? Kamu jadi ngambil kesempatan itu?
“Ngga tau Mit. Aku bingung.”
“Apa si yang kamu bingungin? Itu kan cita-citamu?” bentak Vega yang mulai merasa kesal.
“Aku juga ngga tau Veg.”
“Haaa, apa karna Arda, yang udah mulai deket? Udah jujur aja sama aku, sama Mita”
Aku terdiam tanpa sepatah katapun.
“Ra, semua keputusan ada di tanganmu, semua yang terbaik buat kamu, kamu yang bisa lebih ngerti, kita cuma bisa berdoa dan sebisa mungkin menjadi sahabat yang selalu ada buat kamu. Oke Ra, kita cuma mau ngingetin, ambil keputusan yang nantinya ngga akan mbikin kamu nyesel.”
“Iya Mit Veg, makasi banget yah.”
Kata-kata Mita tadi bisa membuat sedikit lega beban pikiranku yang menurutku konyol banget. Dan Vega, benar kata Vega, ternyata aku terbebani oleh Arda, itulah yang sebenarnya aku rasakan. Aku bukan hanya suka tapi sayang. Aku sayang sama Arda, tapi kenapa aku bisa sampai berfikiran seperti itu, aku terlalu berharap sama Arda. Sudah Ara lupakan semua, lupakan semua khayalanmu itu. Dan sekarng aku sudah mempunyai sebuah keputusan, keputusan yang terbaik untukku, ya menerima tawaran Beasiswa Pertukaran Pelajar ke Australia.
~*~


Minggu depan adalah konser musik yang telah aku tunggu-tunggu dan minggu depan juga aku akan berangkan ke Australi. Semua telahku persiapkan dengan sebaik-baiknya, dari apa-apa saja persyaratan yang harus dipenuhi dalam persiapan keberangkatanku ke Australi dan tak lupa mental dan latian untuk konserku. Aku nggak mau konserku ini gagal, aku ingin konser terakhir sebelum aku berangkat, ngga berantakan gara-gara aku yang terlalu banyak pikiran dan staminaku yang turun.
Konser yang sangat ku nantikan, penuh dengan lampu-lampu yang menyinariku dan alunan musik yang ku bawakan sendiri , ditonton banyak orang dan orang yang aku sayang , berharap Arda juga datang nonton. Lengkap semua kebahagianku.
Sekarang jadi inget Arda, penantianku selama ini apakah akan terbalas atau hanya sebuah penantian belaka? Kedekatanku dengan Arda sudah seperti orang berpacaran, kemana-mana selalu bersama, sejak saat itu, awal Arda sms aku, itulah awalmula kedekatan kita. Tapi ini “seperti”, tidak lebih, Oh my God! Apa yang harus aku perbuat? Akan terus sabar memantinya atau cukup sampai di sini? Hanya menjadi seorang teman dekat saja. Uhh Ara, dimana si jalan pikiranmu, Arda tu cuma nganggep kamu temen, ngga lebih! Dwarr! Pikiranku pecah, selalu aja aku berpikiran kaya gini. Udah ah situ, aku nggak tau lagi, ini itu apapun itu terserah, iya ya situ ngga ya, ngga papa deh. Aku mau konsen ke konserku dan sekolah aja.
Hari ini adalah hari yang kunantikan, ya konser musik itu. Dan tandanya besok aku harus berangkat untuk memenuhi semua cita-citaku. Sore nanti, konser akan dimulai, tapi sampai saat ini aku belum mendapat kabar kalau Arda akan menontoku atau tidak. Tetapi Mamah, Papah, Dia, Vega, dan Mita jelas nonton. Aku harap aku takan mengecewakan semua.

Jam sudah menunjukan pukul tiga sore, hatiku mulai gelisah. “Kenapa Da kamu ngga ngasih kabar ke aku, kamu nonton ngga? Mungkin ini saat terakhir kita ketemu sebelum aku berangkat.” Kataku pada diri sendiri.
Kukenakan gaun jingga berhias bunga-bunga mawar mungil dan aku terduduk di atas panggung megah dengan sorotan lampu yang menghiasi ruangan super besar ini. Bersama pianoku, aku mulai memainkan lagu-lagu berrtema sendu, dentingannyapun menghanyutkan jiwa dan menenangkan suasana saat itu. Tepuk tangan penonton membauatku merasakan kebahagian yang sesungguhnya. Dengan inilah aku bisa menghibur banyak orang. Syukur pada Tuhan atas kemampuan ini.
“Ra, selamat ya.”
“Arda?? Makasi Da. Ko kamu di sini?”
“Kenap emang? Ngga boleh nonton?”
“Eeh, bukan gitu. Ko ngga ngabarin aku kalo mau dateng?”
“Ngga papa, aku pengen ngasih kejutan aja ke kamu.”
“Makasi ya Da dah mau dateng.”
“Iyaa sama-sama, selamat yah , tadi bagus banget.
Aku hanay tersenyum mendengar pujian Arda.
“Ra.”
“Iyaah.”
“A,, Akuu. Aku sayang Ra sama kamu, dari awal aku kenal kamu, aku suka sama kamu, tapi aku baru ngungkapan sekarang.
“Sayang?”
Wahh, hatiku berbunga-bunga, seneng banget Arda nembak aku. Tapi, kalo aku trima, nanti pisah, Long distane, kalo ditolak? Kapan lagi ada kesempatan kaya gini? Bingung -,-. Ah udah ah ikutin kata hatiku aja.
~*~

Mesa lem-melem, biasa, aku curhat sama Vega dan Mita kalau aku udah jadian sama Arda. Seneng banget banget bisa jadian sama seseorang yang aku sayang. Tapi aku takut, aku bakal jauh sama Arda selama beberapa waktu karna tugas belajarku, semoga Arda setia selalu setia gimanapun dan apapun itu.
Hari demi hari telah berlalu, dan kini tiba saatnya keberangkatanku untuk menggapai cita. Sedih rasanya ninggalin semuanya, tapi inilah kewajibanku bagaimanapun aku harus tetap menjalaninya.
Di Bandara aku ditungguin Mamah, Papah, Vega, Mita, Bu Dani selaku guru pembimbing, dan terutama Arda. mamah yang dari kemaren-kemaren nasehatin ini itu, Vega sam Mita yang terus-terusan ngomong “Ati-ati yah, jangan lupa ntar kalo udah sampe telfom, oiya oleh-oleh lo.” Yee dikira mau shoping. Bu Dani yang selalu ngasih pengarahan. Dan Arda yang terus mengucapkan janji setianya. Sebelum aku berangkat, dia ngasih aku kotak musik warna pink yang ada dua beleria kecil, lucu banget.
“Ra, ini buat kamu, kalau kamu lagi sedih, atau kangen dengerin aja musiknya.”
“Makasi Da.”
“Ara, aku bakal setia sama kamu, sampai kapanpun.”
“Iya Da, aku juga.”


Perpisahan yang mengharukan. Namun, sangat membahagiakan. Akan kujalani semua ini demi cita-citaku dan kedua orang tua yang sangat ku cintai. Kebahagiaan merekalah harapan utamaku.
~*~

Satu setengah tahun kemudian
Setelah melalui hari-hari baruku di sekolah yang menjadi tempat menuntut ilmuku sekarang. Pengalaman baru yang sangat berharga. Teman-teman baru yang sangat baik, banyak ilmu yang aku dapat dan itu sangat berguna untukku, terutama ilmu tentang dunia musik. Tapi, kangen banget sama semuanya Mamah, Papah, Dia, Vega, Mita, terutama Arda, pokoknya kangen semuanya.
“Kemaren udah telfon rumah, Vega, Mita udah, sekarang Arda ah.”
Iseng-iseng buat ngilangin rasa kangen aku buka kotak musik yang dikasih Arda sebelum aku berangkat. Jadi inget, masa-masa waktu masih SMP, dan terakhir SMA ini.
“Arda, apa kabar?”
“Baik-Baik aja ko.”
Banyak banget yang kita omongin. Tapi tiba tib Arda mau matiin telfonnya.
“Ra, udah dulu ya, aku di panggil kakaku.”
“Oooh ya udah.”
Ternyata Arda matiin telfonnya gara-gara ada telfon masuk, dan itu dari Sita. Cewe simpanan Arda. selama ini Ara di duakan, janji-janji Arda semuanya palsu, kasian Ara, yang sudah setia menunggu Arda dan pada saatnya dia dibuang begitu saja. Tetapi Ara tidak mengetahui semua ini, karena jarak yang memisahkan mereka.
~*~

Minggu depan Arda ulang tahun yang ke-17. Ara berniat untuk pulang ke Indonesia, demi merayakan ulang tahun Arda ini dan untuk menunjukan seberapa besar cinta Ara ke Arda. walau jarak memisahkan mereka tetapi Ara tetap setia kepada Arda, karena Ara tahu bahwa janji yang diucapkan Ara itu akan nyata. Seandainya Ara tahu apa yang sebenarnya terjadi, pasti akan sakit sekali.
Pesawat menuju ke Indonesia akan diberangkatkan pukul 07.00 waktu setempat. Ara telah memepersipakn kado special untuk Arda. “Ngga sabar pengen ketemu semua.” Seruku dalam hati. Sepanjang perjalanan akau hanya termenung dan membayangkan bagaimana suasana sekarang ini.
Tetapi, takdir berkata lain, pesawat yang dinaiki Ara terjatuh ke dalam hutan. Keadaan Ara belum ada yang mengetahui. Kaluarga yang mendengar kabar ini kaget luar biasa. Tidak menyangka nasib Ara akan setragis ini.
Sampai suatu ketika jasad Ara ditemukan bersama dengan semua barang-barangnya. Saat pemakaman semua keluarga hadir, sahabat Ara, dan Ardapun hadir dalam pemakaman itu. Arda sangat menyesal dengan semua yang telah dia lakuakan, seseorang yang awalnya dia cintai sekarang telah benar-benar pergi meninggalkan untuk selamanya. Apalah arti cinta tanpa makna yang sesungguhnya, yaitu setia.
Tiba-tiba Vega menghampiri Arda dan menyampaikan sebuah kotak yang terlihat rusak. Kotak itu Vega dapatkan dari seorang polisi yang menemukan kotak itu di kantong baju Ara. Arda perlahan membuka kotak itu, dan ternyata kotaknya berisi sebuah gunting kuku, dan di bawahnya ada secarik surat.



Dear Arda
Happy birthday Da.
Semoga kamu akan selalu mendapatkan yang terbaik dan selalu mendapatkan kebahagian.
Dan ini sebuah gunting kuku yang memiliki arti.
"Cinta, yang terus dipotong akan terus tumbuh dan berkembang.
Begitu juga dengan kuku.
Kuku walau terus dipotong akan terus tumbuh."


LOVE
~ARA~

Penyesalan

AKU tak bisa mengendalikan lagi laju kendaraanku. Terdengar suara ban mobilku mendecit-decit. Orang-orang memekik. Berpasang mata seakan ditarik pada satu titik. Aku terkejut. Mobilku menghantam sesosok laki-laki yang melintas.Sesosok tubuh itu pun terkapar di trotoar, mengejang menahan sakit. Sebelah tangannya berusaha keras tetap terkepal. Genangan air hujan yang menadah kepalanya berangsur merah saat tangan lelaki itu akhirnya rebah.
Bumi seakan berhenti bernafas. Hanya sesaat sebelum kembali riuh. Teriakan. Jeritan klakson. Titik-titik air yang meluncur serentak seperti derap sepatu tentara yang melangkah dengan kemarahan. Secarik kertas pelan-pelan kuyup oleh rintik hujan yang kian deras.


Masih mengalir jelas dalam memori ingatanku. Enam tahun yang lalu, sepasang mata ini masih bisa memandang birunya langit yang berselimut awan tipis kian membumbung. Seperti cita-citaku yang tinggi untuk menjadi seorang pelukis hebat.Pada langit yang biru itu, selalu saja memberiku ruang inspirasi untuk menggantungkan cita-citaku setinggi mungkin. Setinggi langit yang aku lihat setiap hari.Dari jendela kamar ini pun, aku masih bisa menyaksikan dengan jelas keremangan senja yang merona keemasan bersama kepak-kepak sayap burung pipit melintas dan terus menghilang. Bahkan saat malam sebelum memejamkan sepasang mataku, aku selalu memandangi bulan yang berbingkai bintang-gemintang. Semua begitu indah.Waktu itu pun, aku masih bisa melihat dengan jelas salah satu lukisan karya pertamaku, yang kini tergantung di dinding kamar. Seakan ia menyatu dengan nasibku yang kini tergantung-gantung. Lukisan yang penuh dengan warna itu membuat aku senang sekali. Dan semuanya masih terlihat jelas dalam ingatanku enam tahun yang lalu. Duniaku yang dulu. Dunia yang penuh dengan warna. Tapi, semua warna itu telah berubah menjadi gelap. Seperti kanvas yang bersimbah cairan cat hitam. Ya, sejak peristiwa itu terjadi, aku hanya mengenal satu warna saja. Semuanya adalah hitam, gelap. Menakutkan. Sampai-sampai aku tak bisa melihat wajahku sendiri saat bercermin. Dokter yang telah memvonisku buta seumur hidup setelah peristiwa itu, membuat aku membenci semuanya. Sebab aku tidak rela dan aku tidak mengerti kenapa duniaku kini mendadak berubah?

Ah! Andai saja, pecahan kaca waktu itu tidak menancap di mataku. Aku mungkin tidak akan buta seperti sekarang ini. Aku harus meraba-raba ke manapun aku melangkah. Aku malu. Bahkan aku tidak akan tau, sekalipun di depanku ada jurang atau lautan. Aku membenci keadan ini. Kalau saja waktu bisa diputar ulang, aku akan mengendari mobil dengan hati-hati waktu itu. Pasti!
Tapi, kenapa harus aku yang kehilangan kedua mata ini. Tuhan sepertinya tidak adil. Aku marah. Aku begitu terpukul. Berbulan-bulan aku hanya mengunci diri di dalam kamar, bersama kedua mataku yang buta ini. Bahkan bukan saja mataku yang buta, tapi hatiku juga hampir buta. Aku telah mencoba mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Tapi setiap kali aku mencoba, selalu saja ada yang menggagalkanku. Akhirnya aku sadar kalau Tuhan masih sayang denganku.
Saat itulah Bastian hadir. Aku seperti menemukan mataku. Dengan kesabarannya ia mengajariku untuk mengerti hakikat hidup. Ia mengatakan bahwa Tuhan telah memberikan yang terbaik untukku se-karang. Aku pun bisa memahaminya. Semenjak itu, bila saja terdengar kokok ayam pertanda fajar telah datang, aku terbangun dan bergegas membuka jendela kamarku yang menghadap ke ufuk timur. Seakan mata ini bisa melihat terangnya sinar putih sang mentari yang merayap meninggi. Meski aku sadar, itu bukanlah kenyataan, tapi aku seperti melihat harapan itu. Harapan yang selalu hadir bersama bayangannya. Bastian adalah sahabatku. Aku tak sengaja mengenalnya. Aku menabraknya saat aku tersesat waktu nekat keluar rumah. Dengan tulus ia menemani dalam duniaku yang gelap hingga saat ini. Seakan ia hadir membawa cahaya yang terang. Dia begitu setia. Sepanjang jalan waktu itu, ia memberiku banyak nasehat. Hingga aku bisa menemukan hidupku yang baru, meski penglihatanku cacat. Sampai akhirnya, aku bisa tiba di rumah dengan bimbingan dia.Hari ini adalah hari ke delapan aku melangkah kakiku keluar menuju ke sesuatu tempat di mana aku bertemu dengannya. Tempat yang seakan telah menemukan semangatku untuk hi-dup. Meskipun aku tidak tau tempat ini seperti apa. Tapi aku bisa merasakan tempat ini terasa indah, apalagi dengan kehadirannya. Aku telah memberanikan diri melangkah lebih jauh. Seperti dulu, saat mata ini masih berfungsi dengan baik. Awalnya aku hanya melangkahkan kakiku dengan bantuan tongkat menyusuri teras rumah. Terus ke halaman, jalan, dan tempat ini. Di sini aku bisa merasakan terpanaan sinar mentari pagi. Aku tidak peduli kulitku yang dulu putih kini menjadi gelap. Aku semakin mengenali tempat. Sekalipun hanya dengan bantuan tongkat ini aku memberanikan diri bermain-main mengikuti raba-annya.Aku menunggu seseorang di sini. Seseorang yang senantiasa menguatkanku dengan keadaaku. Dengan kesabaran dan ketulusan ia mengajariku untuk percaya diri. Untuk bangkit. Ya, seseorang itu adalah kekasihku. Ia adalah satu-satunya orang yang tidak pernah aku benci. Aku mengenalnya begitu dekat.
“Sayang… kau kah itu?” Aku mendengar ada langkah kaki mendekatiku.
“Iya Dita, ini aku. Apa kabarmu?” Seseorang telah menyapaku. Itulah Tian. Seseorang yang begitu tulus menemaniku. Aku bahkan telah jatuh cinta pada ketulusan hatinya. Dan ia pula jatuh cinta dengan kesabaranku.
“Apakah langit hari ini begitu indah, Yan?” Aku memberanikan bertanya.
“Iya Dit Ada tebaran awan putih di sana. Kepak-kepak burung pipit, bermain-main di udara. Langit cerah membiru. Seperti birunya hubungan kita.” Tian menggambarkan semua itu padaku.
“Kau yakin, aku akan bisa melihat langit itu kembali?”
“Dita… yakinlah suatu saat kau akan bisa melihat indahnya langit.” Tian menyakinkanku. Begitulah ia selalu memberi semangat kepadaku.
“Ya.. bila aku bisa melihat langit kembali, kita akan segera menikah.” Ucapku dengan penuh harap.
Begitulah setiap hari ia berusaha meyakinkanku. Ia tak pernah lelah mencari orang yang bisa mendonorkan mata untukku. Tapi setiap kali ia gagal, aku pula yang semakin jenuh. Tapi aku tidak pernah berhenti berdoa, hingga peristiwa besar itu telah memisahkan kami.

Perempuan dengan kaus panjang warna putih, duduk di ha-laman depan rumah sejak pagi tadi. Matanya tertutup oleh perban putih yang melingkar di kepalanya. Tiga pekan yang lalu, ia sudah menjalani operasi mata. Dokter bilang ia akan sembuh dan bisa melihat sebagaimana orang normal lainnya. Dan ia tidak perlu menggunakan tongkat lagi untuk membantunya berjalan.
Itulah aku. Aku sangat bersyukur dan berterimakasih kepada seseorang yang telah mendonorkan matanya untukku. Meskipun aku tidak tau siapa dia. Awalnya pun aku ragu. Tapi Tian, kekasihku telah memberikan dorongan yang kuat untuk menerima tawaran itu. Aku pun menerimanya.
“Dita sebentar lagi engkau akan melihat betapa indahnya langit hari ini. Awan putihnya seakan berkejaran dengan riangnya mengejar pelangi di sana.” Suara Tian memecah kesunyian pagi.
“Sungguh?” Aku berbunga-bunga mendengar perkataan kekasihku. Aku bisa merasakan. Ia berdiri tepat dibelakang di mana aku duduk. Tangannya perlahan membuka perban yang sejak kemarin menutup kedua mataku dengan hati-hati.
“Bukalah matamu perlahan-lahan Dit! Dan saksikanlah betapa langit begitu indah sekarang. Ia seakan menunggu hadirmu, Dita.”
Aku menggerakkan mataku. Aku masih takut apakah mata ini masih bisa normal kembali. Perlahan aku buka kelopak mataku. Terasa berat. Aku terus mencoba dengan hati-hati. Perlahan mataku seperti diserbu ribuan berkas cahaya yang me-nusuk-nusuk mataku. Begitu menyilaukan. Perlahan semua yang tadinya samar-samar, kini terakomodasi kian jelas. Aku takjub dengan keajaiban yang aku lihat. Hatiku membuncah. Mataku telah bisa melihat keindahan langit pagi ini. Bahkan nanti, aku pasti bisa menyaksikan mentari yang merona keemasan menjemput malam bersama kepak-kepak sayap burung senja.
“Apa yang kau rasakan Dita?”
“Aku…aku… bahagia. Aku bisa melihat langit yang membiru itu, Yan..! Aku bahagia sekali.” Aku gugup. Aku begitu terpana dengan pemandangan di atas sana. Pemandangan yang selama ini aku impi-impikan. Dunia yang selama ini gelap, sekarang begitu terang benderang.
“Benar Dit, langit itu telah menunggu sapaanmu sejak lama.” Ucap Tian yang memegang erat bahuku sejak tadi.
“Lihat di sana ada awan putih!” Aku menunjuk ke arah kanan di mana kami berada.
“Ya! Awan putih senantiasa begitu indah, selalu meneduhkan pandangan kita.”
Aku semakin asyik melihat semuanya. Hampir-hampir aku tidak menyadari kalau Tian berdiri setia menemaniku.
“Kalau boleh aku tahu, siapa yang mendonorkan mata ini untukku, Yan?” Aku bertanya padanya. Hatiku berbunga-bunga. Membuncah dalam kesenangan.
“Dia sudah ikhlas mendonorkan matanya. Yang penting sebentar lagi kita akan menunaikan janji untuk hidup bersama. Kita akan tinggal di sebuah rumah yang telah kita impikan selama ini. Aku akan menikahimu!” Tian berucap.Aku tersadar, aku teringat dengan janji itu. Aku membalikkan pandanganku, dengan serta merta aku akan mengatakan yang sesungguhnya kalau itu adalah impianku selama ini. Tapi bibirku terkunci, saat tersadar kau seperti aku yang kemarin.
“Tidak!” Aku terperangah kaget. Aku menjauhinya.
“Ada apa!” Ia seperti mengkuatirkan keadaanku.
“Tidak…!” Aku sekali lagi terkejut dengan yang aku lihat. Aku ketakutan melihatnya.
“Dita…! Kau kenapa?” Ia kebingunan mencariku. Aku menghindar dan menepis tangannya yang meraba-raba.
“Tidak mungkin. Tidak mungkin aku akan menikah dengan orang buta sepertimu!” Aku menangis. Aku berlari menjauhinya. Ternyata orang yang selama ini begitu dengan tulus menyayangiku adalah orang yang cacat penglihatannya.
“Kau bukan Tian. Tian tidak buta. Pergi Kau!” Aku mengusirnya, hingga ia harus tertatih-tatih pergi menjauhiku.


Selembar surat aku baca. Ada pesan singkat di sana.

Sayang…
Sekarang kau bisa melihat langit kembali. Aku begitu bahagia.
Sayangku…
Tolong engkau jaga baik-baik kedua mata yang telah aku berikan kepadamu.
Yang menyayangimu,
(Tian)
Air mataku tumpah bersama air hujan yang membasahi selembar surat yang ku pegang sejak tadi. Aku tak kuasa membaca tulisan singkat yang tidak beraturan itu. Tetes air mataku kian memendarkan surat terakhirnya. Tulisan itu seakan telah menampar keegoisanku. Aku telah sombong dengan kedua mataku.
“Tian….!” Aku berteriak memanggil-manggil namanya. Aku tersadar kedua mataku ini adalah matanya. Kini ia telah pergi dengan mengenaskan. Dan itu berpunca dari sikapku yang salah.
Aku terlambat meminta maaf padanya. Dan aku baru sadar, kalau tubuh itu telah terbaring lemah di atas trotoar bersimbah darah. Aku telah menemukannya tak bernyawa lagi, setelah aku tega mengusirnya. Sesalku bertubi-tubi menghujani pikiranku.

Rabu, 17 November 2010

M O V I N G O N


mungkin pernah ku menangis
mungkin diriku pernah tersakiti
namun diriku kini kembali
coba nikmati indahnya dunia
tiada lagi bayangan dirimu
yang selalu mencoba menahanku

bersama mentari ku bernyanyi
mewarnai hari-hari
bersama pelangi ku menari
menyambut bebasnya hati ini
tiada lagi yang mampu menghalangi
aku takkan berhenti melangkah
’cause i’m moving on
mungkin pernah ku menangis
mungkin diriku pernah tersakiti
(namun diriku kini kembali)
coba nikmati indahnya dunia
tiada lagi bayangan dirimu
yang selalu mencoba menahanku
bersama mentari ku bernyanyi
mewarnai hari-hari

bersama pelangi ku menari
menyambut bebasnya hati ini
tiada lagi yang mampu menghalangi
aku takkan berhenti melangkah
’cause i’m moving on
ku percaya nanti kan ada saatnya
cinta kan datang padaku lagi
(bersama mentari ku bernyanyi
mewarnai hari-hari
bersama pelangi ku menari
menyambut bebasnya hati ini)
bersama mentari ku bernyanyi
mewarnai hari-hari
bersama pelangi ku menari
menyambut bebasnya hati ini
tiada lagi yang mampu menghalangi
aku takkan berhenti melangkah
’cause i’m moving on
moving on, moving on, yeah, yeah

Rabu, 10 November 2010

my happy ending

Oh, oh

So much for my happy ending

Oh, oh
So much for my happy ending
Oh Oh, oh…

Let’s talk this over

It’s not like we’re dead
Was it something I did?
Was it something you said?
Don’t leave me hangin’
In a city so dead
Held up so high
On such a breakable thread

You were all the things I thought I knew

And I thought we could be



You were everything, everything that I wanted

We were meant to be, supposed to be, but we lost it
And all of our memories, so close to me, just fade away
All this time you were pretending
So much for my happy ending

You’ve got your dumb friends

I know what they say

They tell you I’m difficult
But so are they
But they don’t know me
Do they even know you?
All the things you hide from me
All the shit that you do

It’s nice to know that you were there

Thanks for acting like you cared
And making me feel like I was the only one
It’s nice to know we had it all
Thanks for watching as I fall
And letting me know we were done

He was everything, everything that I wanted

We were meant to be, supposed to be, but we lost it

And all of our memories, so close to me, just fade away
All this time you were pretending
So much for my happy ending

Oh, Oh,

So much for my happy ending

Oh, Oh
So much for my happy ending
Oh Oh, Oh Oh

Senin, 08 November 2010

monday morning

Nananana~
kuawali hariku dengan mendoakanmu agar kau selalu sehat dan bahagia di sana sebelum kau melupakanku lebih jauh sebelum kau meninggalkanku lebih jauh
mungkin sebait lagu ini cukup buat mengawali hari ini
unexpectedly, jreeeeng jreeeng ga disangka ga di duga #efek kaget & ga siap [siapa itu?] aku tanya-tanya ko bisa? itu sama siapa? itu siapa? haaaaah?
pernah ku simpan jauh rasa ini
berdua jalani cerita

kau ciptakan mimpiku
jujur ku hanya sesalkan diriku



kau tinggalkan mimpiku
dan itu hanya sesalkan diriku


ku harus lepaskanmu

melupakan senyummu
semua tentangmu, tentangku, hanya harap
jauh, ku jauh, mimpiku dengan inginku



ku harus lepaskanmu
melupakan senyummu
semua tentangmu, tentangku, hanya harap
semua tentangmu, tentangku, hanya harap
jauh, ku jauh, mimpiku dng inginku



semua tentangmu, tentangku, hanya harap
jauh, ku jauh, mimpiku dengan inginku



jauh mimpiku dengan inginku

umm, make me hurt. Ouch!!!! L ga kerasa air mata keluar sendiri tanpa disuruh oowow
“oh dear, don’t cry please” yeaaah aku tau apa-apaan si ya aku pake acara nangis segala T.T
Mungkin gara-gara aku ga siap aja buat ngeliat dengan mata kepalaku sendiri aku juga ga berhak ko ngelarang jalanin apa adanya dunia itu berputar kawan! Semua orang berhak bahagia J aku seneng kalo ngeliat orang lain juga seneng #walau aku disini engga (ssst tapi aku ikhlas ko J)
Stop stop stop !!!! enough Helen smile please J ga ada gunanya kamu nangis!
Saat Ku hancur hati

Ku datang padaMu
Kau beri kekuatan dan b'ri penghiburan
Saat tak seorangpun dapat kuandalkan
Kau yang memberi jalan
Kau yang menuntunku


Saat ku tak mengerti

Dalam hidup ini
Namun firmanMu selalu menerangiku
Engkau yang buatku kuat lewati semua
Engkau pertolonganku
Tempat harapanku



Tuhan... kupercaya janjiMu
Dalam hidupku
Kau b'ri kemenangan



Tuhan... kau s'lalu setia
Didalam hidupku
Kau berharga bagiku
Kaulah jaminanku
Dalam hidupku



Kau berharga bagiku
Kaulah jaminanku
Dalam hidupku
Kupercaya Janjimu Ya Tuhan...

Aku percaya sama Tuhan DIA slalu memberi yang terbaik untukku, Tuhan selalu ada untukku kapanpun dalam keadaan apapun, aku percaya Tuhan dengar doaku.
Jalan hidupku tak selalu

tanpa kabut yang pekat
Namun kasihMu nyata padaku,
pada waktuMu yang tepat


Seperti pelangi, sehabis hujan

itulah janji setiaMu Tuhan..
Di balik dukaku telah menanti
harta yang tak ternilai dan abadi



Mungkin langitpun tak terlihat,
tertutup awan tebal
Namun hatiku kan tetap kuat,
oleh janji-Mu yang kekal

Jalani hidup ini dengan senyuman J
Senin 8 November 2010
07.00