Tampilkan postingan dengan label thought. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label thought. Tampilkan semua postingan
Senin, 28 Juli 2014
Happened to me according to your will my God. It's because what seems impossible for me is surely possible for you.
Label:
thought
Penghias malam, bingkisan sang Kuasa
Sejauh mata memandang hamparan bintang bertabur indah,
berkelip saling memainkan mata mengajak kita untuk bertegur sapa.
Hai katanya, sepenggal isyarat yang sengaja memenjarakanku untuk tetap duduk bersila nan sepi. Bunyi jangkrik mengalun merdu menemani malam dingin di kota kecil yang sekarang telah berubah menjadi ramai akan sorot gedung tinggi dan kendaraan. Di sudut kota itu, aku seorang diri duduk menengadah ke langit hitam berhias kelipan cahaya yang jadi kerinduannya, bulanpun tersenyum manis dengan lengkung indah yang menawan hati.
Aku selalu menyukai malam, dengan bintang, bulan di sana, sayang sekali ciptaan Tuhan lainnya tak terlihat setiap waktu, komet, planet, dan benda penghias angkasa lain yang manusiapun tak dapat melihatnya dengan mata telanjang.
Aku mencintai benda-benda angkasa itu, betapa indahnya mereka seperti memiliki rahasia dari sang kuasa yang tak ada seorang manusiapun mengetahui, tiap saat ingin berada di luar memandang bebas ke angkasa luas.
Bintang miliki cahaya sendiri, kecil, berkerlip, dan jadi terang malam yang gelap.
Ketika malam tiba, cerah cuaca di luar segera aku lari dan duduk di teras memandang indah bingkisan Tuhan yang saling bertaburan itu, bintang indah bintang malam.
Hai katanya, sepenggal isyarat yang sengaja memenjarakanku untuk tetap duduk bersila nan sepi. Bunyi jangkrik mengalun merdu menemani malam dingin di kota kecil yang sekarang telah berubah menjadi ramai akan sorot gedung tinggi dan kendaraan. Di sudut kota itu, aku seorang diri duduk menengadah ke langit hitam berhias kelipan cahaya yang jadi kerinduannya, bulanpun tersenyum manis dengan lengkung indah yang menawan hati.
Aku selalu menyukai malam, dengan bintang, bulan di sana, sayang sekali ciptaan Tuhan lainnya tak terlihat setiap waktu, komet, planet, dan benda penghias angkasa lain yang manusiapun tak dapat melihatnya dengan mata telanjang.
Aku mencintai benda-benda angkasa itu, betapa indahnya mereka seperti memiliki rahasia dari sang kuasa yang tak ada seorang manusiapun mengetahui, tiap saat ingin berada di luar memandang bebas ke angkasa luas.
Bintang miliki cahaya sendiri, kecil, berkerlip, dan jadi terang malam yang gelap.
Ketika malam tiba, cerah cuaca di luar segera aku lari dan duduk di teras memandang indah bingkisan Tuhan yang saling bertaburan itu, bintang indah bintang malam.
Sering aku mengimajinasikan pikiranku bila bintang-bintang
itu dibentuk suatu konstelasi indah yang saling berhubungan satu sama lain dan
terbentuklah suatu bentuk unik dari bintang-bintang itu. Namun, satu yang
selalu setia dan selalu ada di sana empat bintang terang di arah selatan apabila
ditarik dengan garis lurus akan membentuk suatu konstelasi (rasi bintang) belah
ketupat. Rasi ini dimanapun aku berada selalu terlihat bila cuaca mengijinkanku
untuk bertatapan dengannya. Meskipun aku menginjakan kaki di tanah yang berbeda tetapi
setidaknya aku masih berada di bawah langit yang sama Dimanapun aku berada bintangpun
tetap terlihat.
Aku jatuh cinta pada bintang, walau jarak yang begitu jauh berjuta mil jaraknya tetapi tetap setia berada di sana memancarkan keindahan dari sang Agung, dan akupun setia memandangmu dari kejauhan walau kecil tapi indah rupamu.
Nama-namapun unik dan membuatku terpesona akannya alpheratz, avior, andromeda, dan masih banyak lainnya, indah sekali benda langit yang satu ini bila memancarkan sinar yang paling terang. Suatu saat nanti ingin ku memiliki sebuah teleskop agar aku bisa semakin dekat dengan sang terang di waktu malam. Gugusan bintang, membentuk suatu bentuk-bentuk indah yang jadi penghias gelapnya langit malam membuat semakin jatuh cinta, ditambah dengan bulan yang selalu berganti bentuk namun bintang tetap setia dengan pancaran cahayanya.
Aku jatuh cinta pada bintang karena hanya dialah penghias malam yang setia hadir jadi terang dunia dengan pancaran cahayanya sendiri, berjuta-juta jumlahnya dan tetap indah menawan bertaburan di gelapnya malam, bulan jadi teman yang selalu berotasi pada porosnya sendiri dan mengitari bumi namun tak bisa pancarkan sinar sendiri, matahari jadi tumpuan terangnya.
Bintang-bintang di langit, aku ingin terus memandangmu bermain mata dan saling menerka akan keberadaan kita.
Semoga aku bisa jadi bintang bagi orang-orang di sekeliling, jadi terang dan pembawa kebahagiaan.
Hai bintang ku balas sapaanmu tadi,
Tetaplah jadi bingkisan indah di langit sana.
Tetaplah memancarkan cahayamu.
Tetaplah berkelip walau kadang awan hitam berusaha menyita senyum mungilmu.
Tetaplah jadi karya Tuhan yang indah.
Tetaplah jadi sesuatu yang membuatku terus jatuh cinta.
Aku jatuh cinta pada bintang, walau jarak yang begitu jauh berjuta mil jaraknya tetapi tetap setia berada di sana memancarkan keindahan dari sang Agung, dan akupun setia memandangmu dari kejauhan walau kecil tapi indah rupamu.
Nama-namapun unik dan membuatku terpesona akannya alpheratz, avior, andromeda, dan masih banyak lainnya, indah sekali benda langit yang satu ini bila memancarkan sinar yang paling terang. Suatu saat nanti ingin ku memiliki sebuah teleskop agar aku bisa semakin dekat dengan sang terang di waktu malam. Gugusan bintang, membentuk suatu bentuk-bentuk indah yang jadi penghias gelapnya langit malam membuat semakin jatuh cinta, ditambah dengan bulan yang selalu berganti bentuk namun bintang tetap setia dengan pancaran cahayanya.
Aku jatuh cinta pada bintang karena hanya dialah penghias malam yang setia hadir jadi terang dunia dengan pancaran cahayanya sendiri, berjuta-juta jumlahnya dan tetap indah menawan bertaburan di gelapnya malam, bulan jadi teman yang selalu berotasi pada porosnya sendiri dan mengitari bumi namun tak bisa pancarkan sinar sendiri, matahari jadi tumpuan terangnya.
Bintang-bintang di langit, aku ingin terus memandangmu bermain mata dan saling menerka akan keberadaan kita.
Semoga aku bisa jadi bintang bagi orang-orang di sekeliling, jadi terang dan pembawa kebahagiaan.
Hai bintang ku balas sapaanmu tadi,
Tetaplah jadi bingkisan indah di langit sana.
Tetaplah memancarkan cahayamu.
Tetaplah berkelip walau kadang awan hitam berusaha menyita senyum mungilmu.
Tetaplah jadi karya Tuhan yang indah.
Tetaplah jadi sesuatu yang membuatku terus jatuh cinta.
Label:
thought
Kamis, 16 Januari 2014
Oh ternyata aku ada.
Kehidupan baru benar-benar menghampiri, seiring berjalannya waktu semua berganti begitu cepat, sangat drastis, diluar ekspektasi.
Keras! Memang ini yang namanya kehidupan, dihampiri bahkan ditinggalkan itu jadi hal biasa yang setidaknya akan jadi cerita dimasa tua, bukan begitu?
Sama seperti laju roda berputar dan terus berputar, menghadapi banyak rintangan, bebatuan, hujan, angin, bahkan badai yang tidak disangka pun datang jua. Beginilah hidup, sulit ditebak, hanya jadi rahasia Kuasa, sutradara terbesar dalam hidup yang penuh tanda tanya. Aku dan kehidupanku sekarang pun bersiklus sama, berputar. Pernah merasa manisnya hidup banyak suka disana dan pahit pun pernah, itu hidup!
Tapi, siapa sangka dibalik semua itu ada bingkisan indah dari sang pencipta, siapa tahu?
Ada yang datang dan ada juga yang akan pergi (lagi)? Pertanyaan itu seakan mengusik otak yang sejenak berfikir, "Iya kah orang-orang kesayangan akan terlelap dalam waktu?"
Mungkin iya? hmm.. atau tidak sama sekali? Entah.
Ini bukan masalah datang atau pergi tapi bersediakah kau-kau di sana jadi kawan laju rodaku? Atau ada sesuatu yang lebih menawan?
Ini lebih dari sekedar datang dan pergi. Bukan hanya bersedia dan pergi, bukan pula aku mau lalu pergi.
Ini lebih dari sekedar datang dan pergi. Bukan hanya bersedia dan pergi, bukan pula aku mau lalu pergi.
Apatis? Kalau dalam kamus apatis itu acuh tidak acuh; tidak peduli; masa bodoh. Ya, begitulah sedikit definisi dari pertanyaan yang mengendap dalam pikiran selama beberapa bulan ini. Pergi begitu saja tanpa permisi bahwa kita pernah bersam nikmati proses suka duka dalam "kita".
Aku rindu, rindu, rindu sekali saat dimana aku dan kamu adalah kita, yang orang lainpun iri akan "kita".
Ya, semoga "kita" itu bukan hanya jadi angan ku tapi akan jadi "kita" yang sebenarnya pada waktu yang jadi rahasia.
Mungkin jawaban dari pertanyaan menyebalkan itu adalah "nyaman"? Ya, aku pun demikian mengalami hal yang sama. "nyaman" itu sekarang sudah NOL besar, saat semua berubah jadi aku dan kamu tak ada lagi kata "kita" dengan "nyaman".
Sama seperti pernyataan yang telah terucap sebelumnya, datang dan pergi. Nyaman hanya bisa jadi bahan untuk digadaikan.
Menyebalkan sekali orang-orang apatis itu, mungkin bisa jadi aku merupakan salah satu dari bagian menjijikan yang sama sekali tidak terfikirkan untuk melakukannya, sama sekali tidak, berfikirpun enggan.
Menyebalkan sekali orang-orang apatis itu, mungkin bisa jadi aku merupakan salah satu dari bagian menjijikan yang sama sekali tidak terfikirkan untuk melakukannya, sama sekali tidak, berfikirpun enggan.
Berusaha nyaman itu munafik, lama-lama juga pergi. Melelahkan berpura-pura dalam topeng rekayasa yang dibuat sendiri, mati rasa.
Dalam satu dunia ini ada banyak dunia lagi, memusingkan bukan? Roda hidup terus berputar, kalaupun aku harus ikut berputar aku harus tau bagamana "nyaman" itu ada, bukan mengadakan yang tidak ada, sakit kalau harus terus bertopeng.
Banyak yang jadi orang lain bukan dirinya, sangat menyebalkan tapi ini dunia bukan hanya kamu yang tidur dan bernafas di sini jadi nikmati.
Tapi bolehkah aku berharap sekali lagi kembalikan aku yang dulu, kembalikan duniaku, kembalikan apa yang pernah ku punya dulu. Memang aku pernah ada saat ini, dan saat ini aku ada di dunia yang (hampir) jauh dari dulu, aku sadar pintaku banyak dan sangat omong kosong. Tapi aku mau semua jadi "kita" yang "nyaman."
Jangan pergi lagi, kembalilah, aku rindu.
Tertanda:
Seorang wanita di sudut ruangan berlampu redup dengan jemari yang elok menari diatas tuts hitam berjejer rapih yang merindukan "kehidupan" "kita".
Rangkaian bualan ini ditujukan untuk semua yang pernah ada dalam rasa "nyaman"ku.
Label:
thought
Kamis, 01 Agustus 2013
Selamat datang Agustus
Bulan ke depalan dalam tahun, terulang lagi hari ini.
Siklus yang selalu berputar, belum berhenti,
masih ada waktu yang tersisa entah kapan ujungnya.
Kamis awali bulan ini,
Agustus yang akan mengembara melewati hari penuh tantangan, begitu banyak harap
yang terucap mewarnai doa awali bulan.
Setelah lewati Januari hingga saat ini
banyak cerita yang tak mungkin cukup tertulis dalam lembar, hanya ingatan yang
selalu menyimpan kenangan manis maupun pahit dalam memori yang tertanam dalam
benak.
Selamat datang Agustus, kisah apa yang akan ku temui?
Lihatlah nanti,
akan ada jawab dibalik tanya.
Selamat berkarya.
Berkah dalem.
Label:
thought
Sabtu, 17 November 2012
Ilusi Hati yang Menipu Otak
Kata-kata itu sulit diungkapkan dengan bahasa yang biasa-biasa
saja karena hanya hati yang bisa mengatasinya, hati yang lebih mengerti dan
memahaminya, bahkan otakpun ikut teracuni oleh perasaan semu itu.
Hari ini dimana semua perasaan itu memuncak, rasa yang
mungkin sudah menjadi makanan sehari-hari bagiku yang merindukan seseorang
sebut aja rasa itu adalah rasa rindu. Hal kecil yang biasa dilakukan sehari-hari,
ombrolan konyol namun menyimpan ribuan makna yang berarti bagiku kini telah
sirna dimakan oleh sang waktu bahkan telah hilang entah kemana.
Aku tahu saat itu hanya pertemuan singkat yang tidak ada
artinya, bagi dia mungkin hanya angin lalu yang dibiarkan berhembus begitu
saja. Namun, saat-saat itu menjadi sangat berarti dan rasanya waktu berjalan
begitu cepat tanpa memperdulikanku yang tengah telena dengan moment itu dan
menghantarkanku pada suatu gerbang awal mengenal kehidupannya. Tiga hari
merupakan waktu yang sangat singkat namun menyimpan sejuta kenangan yang
bermakna bagiku, entah bagi dia, mungkin itu hanya menjadi memori klasik yang
hanya disimpan dalam kotak kenangannya dan dibiarkan tertutup begitu saja,
berdebu, dan terlupakan.
Sosok yang telah menjeratku pada kekaguman dan menimbulkan tanya
dalam hati. Siapa dia? Bolehkah aku mengenalmu lebih jauh lagi? Terselip dalam
doaku setiap malam agarku diperbolehkan untuk mengetuk pintu hatimu dan kau izinkanku
untuk mengenalmu. Sang Pencipta akhirnya menjawab doaku, kini kau dan aku
sempatkan waktu untuk berbagi cerita tentang hari-hari penuh warna yang kau
alami dan akupun begitu, hari-hari kita lalui bersama, memberi semangat satu
sama lain, itu menjadi hal yang takkan terlupakan bagiku. Kita sempatkan pergi
ke tempat dimana kita mengatupkan tangan kita masing-masing dan memanjatkan
syukur dan doa kepada Tuhan. Entah apa yang ada dipikiranmu dan entah doa apa
yang ingin kau panjatkan kepada-Nya, itu menjadi rahasia, hanya kau dan Tuhan
yang tahu. Disini aku juga punya sejuta harapan yang aku gantungkan setinggi
langit dan aku berpegang pada kepercayaanku yaitu Tuhan yang aku tahu persis
bahwa Dia takkan pernah melepaskan tanganku jika suatu saat aku terjatuh karena
Dialah Tuhan yang tahu persis apa yang terbaik untukku.
Namun, setelah kau bawa aku ke padang bunga yang tengah
bermekaran penuh warna dan mewangi kau tinggalkanku di sana jauh-jauh-jauh
entah ke mana, akupun tak tahu engkau pergi ke mana, ke barat, utara, selatan,
atau mungkin timur? Entahlah. Yang jelas di sini aku hanya bisa duduk terdiam
menanti harapan yang mungkin tidak kunjung hadir, harapan semu yang terus
membayangiku dengan sebuah kata “andaikan”. Andaikan kamu terus disini,
andaikan kita bisa berbagi cerita, andaikan kita bisa pergi berdoa bersama,
andakan..... andaikan..... andaikan......
Ya mungkin ini yang disebut dengan perkenalan singkat yang
tidak ada maknanya bagimu, seperti ombak yang datang ke daratan untuk bertegur
sapa dengan pasir yang tetap berada di pantai lalu ia pergi meninggalkannya. Namun,
pasir tetap berada di sana tidak pernah sekalipun berfikir untuk beranjak
pergi. Harapan tetap menjadi harapan, mungkin akan berubah menjadi kenyataan
tapi entah kapan hanya Tuhan yang tahu. Semoga suatu hari nanti waktu akan
mempertemukan kita kembali. Sekali lagi, hanya Tuhan yang tahu.
Suatu saat kamu akan menyadarinya
Suatu saat kamu akan memahami perasaan ini
Label:
thought
Rabu, 26 Januari 2011
deep down in my heart
Dear God
in my majesty, you create differences
in my inferiority, you make me more than I am
so here I am
surrender me in the agony of Your Love
surrender me in the irony of Your law
lead me to the joy of redivined
teach me how to love you more
Label:
thought
Minggu, 21 November 2010
Antara Kamu dan Piano
Alarm kamarku berbunyi, tepat pukul 04.30. Jam bentuk babi warna hitam putih memecah keheningan pada pagi itu. Aku segera beranjak dari tempat tidur kesayanganku. Seperti biasa membereskan tempat tidur, cuci muka, belajar sebentar , bantu-bantu mamah dan siap-siap ke sekolah . Inilah awalku untuk memulai hari ini. Senang rasanya masih bisa mensyukuri pagi yang indah dan sejuk ini, burung berkicau bersahut-sahutan, sang mentari yang mulai menampakkan sinarnya, dan embun pagi yang menyejukan mata. Tak henti kuucapkan syukur pada Sang Pencipta Yang Maha Agung.
“Ra, Ara.” Itu suara Mamah yang memanggilku.
“Iya, Mah.” Jawabku dengan nada setengah kaget.
“Ada apa, Mah?”
“Tolong bantu mamah siapkan sarapan.”
“Oke, Mah.”
Mamah dan aku selalu kompak dalam segala hal, kadang aku suka keras kepala sih, tapi karena mamahku yang jago ngrayu bisa luluh juga deh aku. Aku sayang banget sama mamah, mamah selalu bisa ngertiin aku. Tapi mamah selalu adil sama putri-putrinya, aku punya adik cewe, namanya Dia, Diara Permata Putri. Adikku ini lucu, cerewet dan nggegemesin banget, maklum masih umur 6 tahun. Sedangkan namaku Alviora Damara Putri sekarang aku duduk di kelas X SMA.
“Ka Ara, berangkat yuk!” Ajak Dia pada sambil memegang roti bakar coklat kesukaannya.
“Oke cantik.”
~*~
“Ra, ke kantin yuk!” Ajak Vega dan Mita.
“Yuk, cap cus.” Seruku dengan semangat, melihat perutku yang sudah kerocongan karena tiga jam tadi pelajaran matematika yang hanya membuat otakku pecah.
Ara, Vega dan Mita tiga sekawan yang selalu bersama. Karena kita udah sahabatan sejak SD hingga sekarang masih tetap bersama. Semoga persahabatan kami akan tetap abadi.
“Pesen apa, Veg, Mit?” Tanyaku kepada mereka.
“Biasa ajalah.” Jawab Mita.
“Bu, bakso 3, es teh 3, yang satu ngaa pake ijo-ijo.” Pesanku kepada Ibu Kantin yang selalu sabar menanggapi ocehan kami.
“Ngga pake ijo-ijo lo Bu.”
“Iya bawel”
Kebiasaan Vega yang nggak suka sama ijo-ijo alias sayur. Sampai hafal kita sama kebiasaan Vega, bahkan bukan hanya Vega, Mitapun aku hafal. Dia kalau lagi makan pedes minumnya nggak cukup satu gelas, bisa sampai dua gelas. Kalau aku, hheemm, jangan ditanya banyak banget kebiasaanku, dari yang negatif sampai positif. Biasanya aku kalau ngomong lupa titik koma, makannya banyak tapi nggak bisa gendut-gendut, suka banget sama yang namanya musik. Kami bertiga sangat memahami karakter satu sama lain, kami juga bisa saling memahami, karena kita sudah terbiasa bersama sejak kecil. Bermain bersama, berbagi cerita, baik itu suka maupun duka, pokoknya kalu satu diantara kita ada yang punya masalah kita selesaikan bersama, sebisa mungkin kita bantu karena kita adalah satu dalam persahabatan.
~*~
Bel sekolah berbunyi manandakan kegiatan belajar mengajar hari ini telah usai. Semua siswa SMA Harapan Bangsa berduyun duyun meninggalkan sekolah. Seperti biasa aku dan Vega berjalan meninggkalkan kelas dan menghampiri kelas Mita. Karena Mita tidak sekelas dengan aku dan Vega.
“Veg, Ra, jalan yuk! Penat , sumpek, mikir pelajaran, duh ampun lah.” Ceroscos Mita yang cerewet minta ampun.
“Ayuk, tapi Ra, sekarang kan hari Rabu, kamu ada les kan?”
“Iya ni, biasa nanti jam 3 aku les piano. Gimana dong?” Inilah kegiatanku sepulang sekolah setiap hari Rabu dan Sabtu sore, aku disibukan dengan les piano yang sudah menjadi hoby dan telah membawaku meraih bermacam prestasi.
“Eh, gimana kalau kita perginya abis Ara pulang les aja. Lagian besok classmeetkan? Terus abis jalan kita foto-foto. Okehh? Gimana gimana?”
“Siipp, good idea! Nanti kalian jam 5 udah di tempat lesku yahh. Oke, say!”
“Okee deeh.” Triak kita bertiga.
Ya inilah kebiasaan kita, jalan-jalan dan foto-foto, karena kami bertiga ini gila kamera atau bisa di bilang narsis tingkat tinggi. Hihi...
“Udah yuk, katanya mau pulang, udah sepi tuh parkiran.” Ajakku karena sudah tidak sabar pengen pulang dan merebahkan badan yang serasa remuk.
~*~
“Ara, latiannya cukup sampai sini dulu yah, kita lanjutkan besok sabtu. Oiya jangan lupa siapkan mental dan lagu-lagu yang akan kamu bawakan bulan depan untuk konser musik itu.”
“Baik Om, Ara pulang dulu yah.”
Tadi itu Om Wawan guru les pianoku. Aku les piano sejak pertama kali duduk di bangku SD kelas 1. Sebenarnya aku sudah lulus les piano sejak kelas 9 SMP, tapi karena cita-citaku menjadi master piano dan ingin tetap belajar, sehingga aku melanjutkan les ini sampai aku benar-benar bisa berguna dalam dunia musik. Banyak prestasi yang kuukir dari bermain piano, dari festival musik klasik, lomba mewakili sekolah, lomba musik tingkat nasional, dan masih banyak lagi lomba-lomba yang kuikuti. Banyak juga festival yang aku ikuti. Ini semua berkat kegigihanku dan berkat mamah yang pertama kali mengenalkanku dengan piano.
Les piano telah usai, berarti Vega dan Mita telah menungguku. Segera kutinggalkan piano yang sejak tadi menjadi pendamping jemariku dalam memainkan alunan nada-nada yang menenangkan jiwa.
“Ara, lama banget sih? Katanya jam 5. Jam berapa nih?” Vega mulai marah-marah. Inini si Vega, anak yang nggak sabaran, apalagi kalau suruh nunggu, udah de, bawaanya marah terus.
“Oke cantik.” Sahut Mita dengan lesung pipit pada pipi kanannya saat dia tersenyum manis.
“Iya sip. Ayo kita mau kemana dulu nih? Keburu sore loh?” Tanyaku dengan nada menggebu-gebu.
“Gimana kalau makan dulu, laper. Hehe”
“Yee, ni Vega, kalau masalah perut aja langsung tanggap, dasar perut karet.”
“Apa, kamu juga iyalah. Weeeee.”
“Udah-udah, yuk ke tempat biasa aja yah, yang murah dan nggenyangin.” Biasa, Mita selalu menjadi penengah disaat aku dan Vega sedang berdebat.
Seneng banget bisa jalan bertiga lagi, karena selama ini kami disibukkan dengan tugas yang cukup menguras otak dan tenaga kita. Sekarang waktu yang tepat buat jalan-jalan, besok udah classmeet yang kegiatannya cuma lomba-lomba yang menurutku nggak jelas.
Ara, Vega, dan Mita, mulai beraksi, dimulai dari tempat makan yang udah jadi tempat nongkrong kita, setelah energi terisi penuh dilanjutkan dengan konser bersama alias karokean di tempat biasa, nyaman dan enaklah pokoknya tempatnya, biasanya kita nyanyiin lagu yang lagi sesuai sama suasana hati kita. Mita, yang lagi sedih, karena baru putus seminggu yang lalu. Vega, lagi dalam masa penantian, hubungan Vega dan Dito yang nggambang nggak jelas alias hubungan tanpa status. Dan aku, hehe, lagi jatuh cinta ni. Biasa anak muda zaman sekarang ada ada ajah. Okee kembali ke topik semuala, kalau udah karokean nggak lupa sama yang namanya foto-foto. “Ra, Veg, Mit, tolong dong fotoin, gantian yah, ntar abis aku, kamu, ini nih kamu di sini, ehh di situ lucu tuh.” Huff kalimat cerewet yang biasa kita ucapin kalau lagi foto-foto.
Nanananaa ...... Lalalalala .......... Nananannaa ............. Lalalalala ......
Kita lagi asyik asyiknya nyanyi, tiba tiba handphoneku bergetar dan berbunyi bipp.. bipp..
Ara,
Lagi ngapain?
Sender:
~Arda
+6285740001112
“Hey, Guys, Arda sms aku, yeyeyeyee.”
“Ihiiy, senengnya, liat coba smsnya.” Tanya Mita penuh semangat.
“Emm, ada apa ya? Ko tanyanya gini? Bales apa nih?”
“Udah bales aja, nggak ada ko, ehem ,ehem.”
Arda, cowok yang berhasil membuatku terpikat, tapi hanya sekedar MENGIDOLAKAN nggak lebih. Aku naksir dia sejak pertama masuk SMP dan sekarang bersekolah di SMA yang sama. Udah baik, pinter, cakep, sederhana, pinter main drum lagi, apa yang kurang coba, perfect banget lah pokoknya. Baru di smsin dia aja udah seneng banget, dagdigdug nggak karuan. Gimana kalo ditembak? Bisa mati berdiri kali yah? Eettttss , sampe lupa bales nih.
Lagi jalan ni sama Vega, Mita.
Besok? Nggak ko .
Kenepa Da ?
Delivered to
~Arda:
+6285740001112
Seperti biasanya, duduk manis di depan piano kesayanganku, jemari-jemariku memainkan lagu berjudul Proud Of You, it’s my favorite song. Dentingan piano menghiasi malam yang sunyi dan senyap. Sendiri terpaku tanpa kata, hanya sebuah nyanyian lirih yang terucap dari bibirku.
“Stars in the sky, wishing once upon the time.
Give me love, make me smile, 'till the end of life.
Hold me up, hold me tights, lift me up to touch the sky.
Teaching me to love with heart, helping me open my mind.
I can fly, I'm proud that I can fly.
To give the best of mine, 'till the end of the time.
Believe me I can fly, I'm proud that I can fly
To give the best of mine, the heaven's in the sky”
Pikiranku melayang jauh membayangkan sosok yang terlukis dalam lagu tersebut. Andai seorang itu adalah Arda yang datang dengan kuda putih dan penuh cinta, betapa beruntungnya diriku. Haha, tiba-tiba aku tertawa kecil dan tersentak dalam hati “NGGAK MUNGKIN”. Ara, Ara, Ara, ayo jangan bermpimpi terlalu jauh, pikirkan masa depanmu, sekolahmu, dan terlebih tentang pianomu. Semangat Ara, semangat! Saat terbangun dari lamunanku yang cukup panjang tak sadar handphone kesayanganku terlihat tulisan di layar 5 missed call, dan waw ternyata ARDA.
“Aduh, bodo banget si aku, pake acara ngayal segala, ada telfon sampe ngga denger, aduh, gimana ini, gimanaaa? Ayo daa telfon lagi, ayoo dong. Ara kamu udah nglewatin kesempetan berharga nih, duh aduh.”
Panik setengah mati aku, kan kan, baru di telfon udah gugup gini, itu aja telfon ngga jadi ko. Sabar, sapa tau telfon lagi. Aku tunggu 10 menit, 15 menit, 17 menit, dan yah 30 menit kemudian hapeku berdering. Taraa, Arda menelfonko lagi.
“Hallo.”
“Hallo Ara, emm, ngganggu yah?
“Eee, engga ko. Ada apa Da, tumben telfon.”
“Ini, aku tadi abis dapet kabar, sekolah kita mau ada pertukaran pelajar. Nah, kebeneran banget pertukaran pelajarnya dikhususkan untuk siswa yang berprestasi di dunia seni. Aku langsung kepikiran kamu, soalnya ini sifatnya buru-buru, siapa cepat dia, dapet. Kesempatan ini sebenarnya ditawarin buat aku tapi aku ngga boleh sama orang tuaku. Jadi aku ganti kamu aja. Gimana Ra?”
“Hahh? Beneran? Aku bingung, nanti aku tanya mamah dulu. Kemana emang pertukarannya?”
“Australia.”
“Apahhhh? Australi. Duuh, jauh banget, nanti dulu deh aku pikir-pikir.”
“Iya ngga harus sekarang ko keputusannya, itu juga harus dipikirin matang-matang.”
“Iya, makasi yaa infonya.”
“Okee, ehh lagi ngapain Ra?”
“Lagi .............”
...........................................
Bla-bla-bla, pembicaraan itu tersambung dengan topik lainnya. Nggak sadar Arda telfon aku cukup lama, yaah, lumayan deh, bisa mbikin kuping panas, tapi senen
~*~
Setelah mendengar informasi dari Arda aku mulai diselimuti oleh rasa bimbang, walau mamah mengatakan terserah dan mendukung semua keputusanku tetapi apa yang harus kupilih? Meninggalkan Indonesia untuk sementara waktu demi mengejar cita-citaku menjadi seorang pianist atau? Atau apa? Apa yang membuatku menjadi bimbang? Apa? Apa yang sebenanya aku rasakan aku nggak tahu apa yang aku rasaian sekarang ini. Tuhan, apa yang sebenarnya aku pikirkan? Apa yang menjadi bebanku ? Apa yang menyebabkanku merasa sulit untuk berpisah dengan duniaku sekarang ini?
Vega dan Mitapun bingung dengan sikapku. Mereka tahu kalau aku mempunyai cita-cita terbesar menjadi seorang best pianist. Ini kesempatanku untuk mendapatkannya, tetapi kenapa aku bisa seperti ini, merasa ragu dengan pilihan yang menjadi tujuan hidupku.
“Ra, gimana? Kamu jadi ngambil kesempatan itu?
“Ngga tau Mit. Aku bingung.”
“Apa si yang kamu bingungin? Itu kan cita-citamu?” bentak Vega yang mulai merasa kesal.
“Aku juga ngga tau Veg.”
“Haaa, apa karna Arda, yang udah mulai deket? Udah jujur aja sama aku, sama Mita”
Aku terdiam tanpa sepatah katapun.
“Ra, semua keputusan ada di tanganmu, semua yang terbaik buat kamu, kamu yang bisa lebih ngerti, kita cuma bisa berdoa dan sebisa mungkin menjadi sahabat yang selalu ada buat kamu. Oke Ra, kita cuma mau ngingetin, ambil keputusan yang nantinya ngga akan mbikin kamu nyesel.”
“Iya Mit Veg, makasi banget yah.”
Kata-kata Mita tadi bisa membuat sedikit lega beban pikiranku yang menurutku konyol banget. Dan Vega, benar kata Vega, ternyata aku terbebani oleh Arda, itulah yang sebenarnya aku rasakan. Aku bukan hanya suka tapi sayang. Aku sayang sama Arda, tapi kenapa aku bisa sampai berfikiran seperti itu, aku terlalu berharap sama Arda. Sudah Ara lupakan semua, lupakan semua khayalanmu itu. Dan sekarng aku sudah mempunyai sebuah keputusan, keputusan yang terbaik untukku, ya menerima tawaran Beasiswa Pertukaran Pelajar ke Australia.
~*~
Minggu depan adalah konser musik yang telah aku tunggu-tunggu dan minggu depan juga aku akan berangkan ke Australi. Semua telahku persiapkan dengan sebaik-baiknya, dari apa-apa saja persyaratan yang harus dipenuhi dalam persiapan keberangkatanku ke Australi dan tak lupa mental dan latian untuk konserku. Aku nggak mau konserku ini gagal, aku ingin konser terakhir sebelum aku berangkat, ngga berantakan gara-gara aku yang terlalu banyak pikiran dan staminaku yang turun.
Konser yang sangat ku nantikan, penuh dengan lampu-lampu yang menyinariku dan alunan musik yang ku bawakan sendiri , ditonton banyak orang dan orang yang aku sayang , berharap Arda juga datang nonton. Lengkap semua kebahagianku.
Sekarang jadi inget Arda, penantianku selama ini apakah akan terbalas atau hanya sebuah penantian belaka? Kedekatanku dengan Arda sudah seperti orang berpacaran, kemana-mana selalu bersama, sejak saat itu, awal Arda sms aku, itulah awalmula kedekatan kita. Tapi ini “seperti”, tidak lebih, Oh my God! Apa yang harus aku perbuat? Akan terus sabar memantinya atau cukup sampai di sini? Hanya menjadi seorang teman dekat saja. Uhh Ara, dimana si jalan pikiranmu, Arda tu cuma nganggep kamu temen, ngga lebih! Dwarr! Pikiranku pecah, selalu aja aku berpikiran kaya gini. Udah ah situ, aku nggak tau lagi, ini itu apapun itu terserah, iya ya situ ngga ya, ngga papa deh. Aku mau konsen ke konserku dan sekolah aja.
Hari ini adalah hari yang kunantikan, ya konser musik itu. Dan tandanya besok aku harus berangkat untuk memenuhi semua cita-citaku. Sore nanti, konser akan dimulai, tapi sampai saat ini aku belum mendapat kabar kalau Arda akan menontoku atau tidak. Tetapi Mamah, Papah, Dia, Vega, dan Mita jelas nonton. Aku harap aku takan mengecewakan semua.
Jam sudah menunjukan pukul tiga sore, hatiku mulai gelisah. “Kenapa Da kamu ngga ngasih kabar ke aku, kamu nonton ngga? Mungkin ini saat terakhir kita ketemu sebelum aku berangkat.” Kataku pada diri sendiri.
Kukenakan gaun jingga berhias bunga-bunga mawar mungil dan aku terduduk di atas panggung megah dengan sorotan lampu yang menghiasi ruangan super besar ini. Bersama pianoku, aku mulai memainkan lagu-lagu berrtema sendu, dentingannyapun menghanyutkan jiwa dan menenangkan suasana saat itu. Tepuk tangan penonton membauatku merasakan kebahagian yang sesungguhnya. Dengan inilah aku bisa menghibur banyak orang. Syukur pada Tuhan atas kemampuan ini.
“Ra, selamat ya.”
“Arda?? Makasi Da. Ko kamu di sini?”
“Kenap emang? Ngga boleh nonton?”
“Eeh, bukan gitu. Ko ngga ngabarin aku kalo mau dateng?”
“Ngga papa, aku pengen ngasih kejutan aja ke kamu.”
“Makasi ya Da dah mau dateng.”
“Iyaa sama-sama, selamat yah , tadi bagus banget.
Aku hanay tersenyum mendengar pujian Arda.
“Ra.”
“Iyaah.”
“A,, Akuu. Aku sayang Ra sama kamu, dari awal aku kenal kamu, aku suka sama kamu, tapi aku baru ngungkapan sekarang.
“Sayang?”
Wahh, hatiku berbunga-bunga, seneng banget Arda nembak aku. Tapi, kalo aku trima, nanti pisah, Long distane, kalo ditolak? Kapan lagi ada kesempatan kaya gini? Bingung -,-. Ah udah ah ikutin kata hatiku aja.
~*~
Mesa lem-melem, biasa, aku curhat sama Vega dan Mita kalau aku udah jadian sama Arda. Seneng banget banget bisa jadian sama seseorang yang aku sayang. Tapi aku takut, aku bakal jauh sama Arda selama beberapa waktu karna tugas belajarku, semoga Arda setia selalu setia gimanapun dan apapun itu.
Hari demi hari telah berlalu, dan kini tiba saatnya keberangkatanku untuk menggapai cita. Sedih rasanya ninggalin semuanya, tapi inilah kewajibanku bagaimanapun aku harus tetap menjalaninya.
Di Bandara aku ditungguin Mamah, Papah, Vega, Mita, Bu Dani selaku guru pembimbing, dan terutama Arda. mamah yang dari kemaren-kemaren nasehatin ini itu, Vega sam Mita yang terus-terusan ngomong “Ati-ati yah, jangan lupa ntar kalo udah sampe telfom, oiya oleh-oleh lo.” Yee dikira mau shoping. Bu Dani yang selalu ngasih pengarahan. Dan Arda yang terus mengucapkan janji setianya. Sebelum aku berangkat, dia ngasih aku kotak musik warna pink yang ada dua beleria kecil, lucu banget.
“Ra, ini buat kamu, kalau kamu lagi sedih, atau kangen dengerin aja musiknya.”
“Makasi Da.”
“Ara, aku bakal setia sama kamu, sampai kapanpun.”
“Iya Da, aku juga.”
Perpisahan yang mengharukan. Namun, sangat membahagiakan. Akan kujalani semua ini demi cita-citaku dan kedua orang tua yang sangat ku cintai. Kebahagiaan merekalah harapan utamaku.
~*~
Satu setengah tahun kemudian
Setelah melalui hari-hari baruku di sekolah yang menjadi tempat menuntut ilmuku sekarang. Pengalaman baru yang sangat berharga. Teman-teman baru yang sangat baik, banyak ilmu yang aku dapat dan itu sangat berguna untukku, terutama ilmu tentang dunia musik. Tapi, kangen banget sama semuanya Mamah, Papah, Dia, Vega, Mita, terutama Arda, pokoknya kangen semuanya.
“Kemaren udah telfon rumah, Vega, Mita udah, sekarang Arda ah.”
Iseng-iseng buat ngilangin rasa kangen aku buka kotak musik yang dikasih Arda sebelum aku berangkat. Jadi inget, masa-masa waktu masih SMP, dan terakhir SMA ini.
“Arda, apa kabar?”
“Baik-Baik aja ko.”
Banyak banget yang kita omongin. Tapi tiba tib Arda mau matiin telfonnya.
“Ra, udah dulu ya, aku di panggil kakaku.”
“Oooh ya udah.”
Ternyata Arda matiin telfonnya gara-gara ada telfon masuk, dan itu dari Sita. Cewe simpanan Arda. selama ini Ara di duakan, janji-janji Arda semuanya palsu, kasian Ara, yang sudah setia menunggu Arda dan pada saatnya dia dibuang begitu saja. Tetapi Ara tidak mengetahui semua ini, karena jarak yang memisahkan mereka.
~*~
Minggu depan Arda ulang tahun yang ke-17. Ara berniat untuk pulang ke Indonesia, demi merayakan ulang tahun Arda ini dan untuk menunjukan seberapa besar cinta Ara ke Arda. walau jarak memisahkan mereka tetapi Ara tetap setia kepada Arda, karena Ara tahu bahwa janji yang diucapkan Ara itu akan nyata. Seandainya Ara tahu apa yang sebenarnya terjadi, pasti akan sakit sekali.
Pesawat menuju ke Indonesia akan diberangkatkan pukul 07.00 waktu setempat. Ara telah memepersipakn kado special untuk Arda. “Ngga sabar pengen ketemu semua.” Seruku dalam hati. Sepanjang perjalanan akau hanya termenung dan membayangkan bagaimana suasana sekarang ini.
Tetapi, takdir berkata lain, pesawat yang dinaiki Ara terjatuh ke dalam hutan. Keadaan Ara belum ada yang mengetahui. Kaluarga yang mendengar kabar ini kaget luar biasa. Tidak menyangka nasib Ara akan setragis ini.
Sampai suatu ketika jasad Ara ditemukan bersama dengan semua barang-barangnya. Saat pemakaman semua keluarga hadir, sahabat Ara, dan Ardapun hadir dalam pemakaman itu. Arda sangat menyesal dengan semua yang telah dia lakuakan, seseorang yang awalnya dia cintai sekarang telah benar-benar pergi meninggalkan untuk selamanya. Apalah arti cinta tanpa makna yang sesungguhnya, yaitu setia.
Tiba-tiba Vega menghampiri Arda dan menyampaikan sebuah kotak yang terlihat rusak. Kotak itu Vega dapatkan dari seorang polisi yang menemukan kotak itu di kantong baju Ara. Arda perlahan membuka kotak itu, dan ternyata kotaknya berisi sebuah gunting kuku, dan di bawahnya ada secarik surat.
Dear Arda
Happy birthday Da.
Semoga kamu akan selalu mendapatkan yang terbaik dan selalu mendapatkan kebahagian.
Dan ini sebuah gunting kuku yang memiliki arti.
"Cinta, yang terus dipotong akan terus tumbuh dan berkembang.
Begitu juga dengan kuku.
Kuku walau terus dipotong akan terus tumbuh."
LOVE
~ARA~
Label:
thought
Penyesalan
AKU tak bisa mengendalikan lagi laju kendaraanku. Terdengar suara ban mobilku mendecit-decit. Orang-orang memekik. Berpasang mata seakan ditarik pada satu titik. Aku terkejut. Mobilku menghantam sesosok laki-laki yang melintas.Sesosok tubuh itu pun terkapar di trotoar, mengejang menahan sakit. Sebelah tangannya berusaha keras tetap terkepal. Genangan air hujan yang menadah kepalanya berangsur merah saat tangan lelaki itu akhirnya rebah.
Bumi seakan berhenti bernafas. Hanya sesaat sebelum kembali riuh. Teriakan. Jeritan klakson. Titik-titik air yang meluncur serentak seperti derap sepatu tentara yang melangkah dengan kemarahan. Secarik kertas pelan-pelan kuyup oleh rintik hujan yang kian deras.
Masih mengalir jelas dalam memori ingatanku. Enam tahun yang lalu, sepasang mata ini masih bisa memandang birunya langit yang berselimut awan tipis kian membumbung. Seperti cita-citaku yang tinggi untuk menjadi seorang pelukis hebat.Pada langit yang biru itu, selalu saja memberiku ruang inspirasi untuk menggantungkan cita-citaku setinggi mungkin. Setinggi langit yang aku lihat setiap hari.Dari jendela kamar ini pun, aku masih bisa menyaksikan dengan jelas keremangan senja yang merona keemasan bersama kepak-kepak sayap burung pipit melintas dan terus menghilang. Bahkan saat malam sebelum memejamkan sepasang mataku, aku selalu memandangi bulan yang berbingkai bintang-gemintang. Semua begitu indah.Waktu itu pun, aku masih bisa melihat dengan jelas salah satu lukisan karya pertamaku, yang kini tergantung di dinding kamar. Seakan ia menyatu dengan nasibku yang kini tergantung-gantung. Lukisan yang penuh dengan warna itu membuat aku senang sekali. Dan semuanya masih terlihat jelas dalam ingatanku enam tahun yang lalu. Duniaku yang dulu. Dunia yang penuh dengan warna. Tapi, semua warna itu telah berubah menjadi gelap. Seperti kanvas yang bersimbah cairan cat hitam. Ya, sejak peristiwa itu terjadi, aku hanya mengenal satu warna saja. Semuanya adalah hitam, gelap. Menakutkan. Sampai-sampai aku tak bisa melihat wajahku sendiri saat bercermin. Dokter yang telah memvonisku buta seumur hidup setelah peristiwa itu, membuat aku membenci semuanya. Sebab aku tidak rela dan aku tidak mengerti kenapa duniaku kini mendadak berubah?
Ah! Andai saja, pecahan kaca waktu itu tidak menancap di mataku. Aku mungkin tidak akan buta seperti sekarang ini. Aku harus meraba-raba ke manapun aku melangkah. Aku malu. Bahkan aku tidak akan tau, sekalipun di depanku ada jurang atau lautan. Aku membenci keadan ini. Kalau saja waktu bisa diputar ulang, aku akan mengendari mobil dengan hati-hati waktu itu. Pasti!
Tapi, kenapa harus aku yang kehilangan kedua mata ini. Tuhan sepertinya tidak adil. Aku marah. Aku begitu terpukul. Berbulan-bulan aku hanya mengunci diri di dalam kamar, bersama kedua mataku yang buta ini. Bahkan bukan saja mataku yang buta, tapi hatiku juga hampir buta. Aku telah mencoba mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Tapi setiap kali aku mencoba, selalu saja ada yang menggagalkanku. Akhirnya aku sadar kalau Tuhan masih sayang denganku.
Saat itulah Bastian hadir. Aku seperti menemukan mataku. Dengan kesabarannya ia mengajariku untuk mengerti hakikat hidup. Ia mengatakan bahwa Tuhan telah memberikan yang terbaik untukku se-karang. Aku pun bisa memahaminya. Semenjak itu, bila saja terdengar kokok ayam pertanda fajar telah datang, aku terbangun dan bergegas membuka jendela kamarku yang menghadap ke ufuk timur. Seakan mata ini bisa melihat terangnya sinar putih sang mentari yang merayap meninggi. Meski aku sadar, itu bukanlah kenyataan, tapi aku seperti melihat harapan itu. Harapan yang selalu hadir bersama bayangannya. Bastian adalah sahabatku. Aku tak sengaja mengenalnya. Aku menabraknya saat aku tersesat waktu nekat keluar rumah. Dengan tulus ia menemani dalam duniaku yang gelap hingga saat ini. Seakan ia hadir membawa cahaya yang terang. Dia begitu setia. Sepanjang jalan waktu itu, ia memberiku banyak nasehat. Hingga aku bisa menemukan hidupku yang baru, meski penglihatanku cacat. Sampai akhirnya, aku bisa tiba di rumah dengan bimbingan dia.Hari ini adalah hari ke delapan aku melangkah kakiku keluar menuju ke sesuatu tempat di mana aku bertemu dengannya. Tempat yang seakan telah menemukan semangatku untuk hi-dup. Meskipun aku tidak tau tempat ini seperti apa. Tapi aku bisa merasakan tempat ini terasa indah, apalagi dengan kehadirannya. Aku telah memberanikan diri melangkah lebih jauh. Seperti dulu, saat mata ini masih berfungsi dengan baik. Awalnya aku hanya melangkahkan kakiku dengan bantuan tongkat menyusuri teras rumah. Terus ke halaman, jalan, dan tempat ini. Di sini aku bisa merasakan terpanaan sinar mentari pagi. Aku tidak peduli kulitku yang dulu putih kini menjadi gelap. Aku semakin mengenali tempat. Sekalipun hanya dengan bantuan tongkat ini aku memberanikan diri bermain-main mengikuti raba-annya.Aku menunggu seseorang di sini. Seseorang yang senantiasa menguatkanku dengan keadaaku. Dengan kesabaran dan ketulusan ia mengajariku untuk percaya diri. Untuk bangkit. Ya, seseorang itu adalah kekasihku. Ia adalah satu-satunya orang yang tidak pernah aku benci. Aku mengenalnya begitu dekat.
“Sayang… kau kah itu?” Aku mendengar ada langkah kaki mendekatiku.
“Iya Dita, ini aku. Apa kabarmu?” Seseorang telah menyapaku. Itulah Tian. Seseorang yang begitu tulus menemaniku. Aku bahkan telah jatuh cinta pada ketulusan hatinya. Dan ia pula jatuh cinta dengan kesabaranku.
“Apakah langit hari ini begitu indah, Yan?” Aku memberanikan bertanya.
“Iya Dit Ada tebaran awan putih di sana. Kepak-kepak burung pipit, bermain-main di udara. Langit cerah membiru. Seperti birunya hubungan kita.” Tian menggambarkan semua itu padaku.
“Kau yakin, aku akan bisa melihat langit itu kembali?”
“Dita… yakinlah suatu saat kau akan bisa melihat indahnya langit.” Tian menyakinkanku. Begitulah ia selalu memberi semangat kepadaku.
“Ya.. bila aku bisa melihat langit kembali, kita akan segera menikah.” Ucapku dengan penuh harap.
Begitulah setiap hari ia berusaha meyakinkanku. Ia tak pernah lelah mencari orang yang bisa mendonorkan mata untukku. Tapi setiap kali ia gagal, aku pula yang semakin jenuh. Tapi aku tidak pernah berhenti berdoa, hingga peristiwa besar itu telah memisahkan kami.
Perempuan dengan kaus panjang warna putih, duduk di ha-laman depan rumah sejak pagi tadi. Matanya tertutup oleh perban putih yang melingkar di kepalanya. Tiga pekan yang lalu, ia sudah menjalani operasi mata. Dokter bilang ia akan sembuh dan bisa melihat sebagaimana orang normal lainnya. Dan ia tidak perlu menggunakan tongkat lagi untuk membantunya berjalan.
Itulah aku. Aku sangat bersyukur dan berterimakasih kepada seseorang yang telah mendonorkan matanya untukku. Meskipun aku tidak tau siapa dia. Awalnya pun aku ragu. Tapi Tian, kekasihku telah memberikan dorongan yang kuat untuk menerima tawaran itu. Aku pun menerimanya.
“Dita sebentar lagi engkau akan melihat betapa indahnya langit hari ini. Awan putihnya seakan berkejaran dengan riangnya mengejar pelangi di sana.” Suara Tian memecah kesunyian pagi.
“Sungguh?” Aku berbunga-bunga mendengar perkataan kekasihku. Aku bisa merasakan. Ia berdiri tepat dibelakang di mana aku duduk. Tangannya perlahan membuka perban yang sejak kemarin menutup kedua mataku dengan hati-hati.
“Bukalah matamu perlahan-lahan Dit! Dan saksikanlah betapa langit begitu indah sekarang. Ia seakan menunggu hadirmu, Dita.”
Aku menggerakkan mataku. Aku masih takut apakah mata ini masih bisa normal kembali. Perlahan aku buka kelopak mataku. Terasa berat. Aku terus mencoba dengan hati-hati. Perlahan mataku seperti diserbu ribuan berkas cahaya yang me-nusuk-nusuk mataku. Begitu menyilaukan. Perlahan semua yang tadinya samar-samar, kini terakomodasi kian jelas. Aku takjub dengan keajaiban yang aku lihat. Hatiku membuncah. Mataku telah bisa melihat keindahan langit pagi ini. Bahkan nanti, aku pasti bisa menyaksikan mentari yang merona keemasan menjemput malam bersama kepak-kepak sayap burung senja.
“Apa yang kau rasakan Dita?”
“Aku…aku… bahagia. Aku bisa melihat langit yang membiru itu, Yan..! Aku bahagia sekali.” Aku gugup. Aku begitu terpana dengan pemandangan di atas sana. Pemandangan yang selama ini aku impi-impikan. Dunia yang selama ini gelap, sekarang begitu terang benderang.
“Benar Dit, langit itu telah menunggu sapaanmu sejak lama.” Ucap Tian yang memegang erat bahuku sejak tadi.
“Lihat di sana ada awan putih!” Aku menunjuk ke arah kanan di mana kami berada.
“Ya! Awan putih senantiasa begitu indah, selalu meneduhkan pandangan kita.”
Aku semakin asyik melihat semuanya. Hampir-hampir aku tidak menyadari kalau Tian berdiri setia menemaniku.
“Kalau boleh aku tahu, siapa yang mendonorkan mata ini untukku, Yan?” Aku bertanya padanya. Hatiku berbunga-bunga. Membuncah dalam kesenangan.
“Dia sudah ikhlas mendonorkan matanya. Yang penting sebentar lagi kita akan menunaikan janji untuk hidup bersama. Kita akan tinggal di sebuah rumah yang telah kita impikan selama ini. Aku akan menikahimu!” Tian berucap.Aku tersadar, aku teringat dengan janji itu. Aku membalikkan pandanganku, dengan serta merta aku akan mengatakan yang sesungguhnya kalau itu adalah impianku selama ini. Tapi bibirku terkunci, saat tersadar kau seperti aku yang kemarin.
“Tidak!” Aku terperangah kaget. Aku menjauhinya.
“Ada apa!” Ia seperti mengkuatirkan keadaanku.
“Tidak…!” Aku sekali lagi terkejut dengan yang aku lihat. Aku ketakutan melihatnya.
“Dita…! Kau kenapa?” Ia kebingunan mencariku. Aku menghindar dan menepis tangannya yang meraba-raba.
“Tidak mungkin. Tidak mungkin aku akan menikah dengan orang buta sepertimu!” Aku menangis. Aku berlari menjauhinya. Ternyata orang yang selama ini begitu dengan tulus menyayangiku adalah orang yang cacat penglihatannya.
“Kau bukan Tian. Tian tidak buta. Pergi Kau!” Aku mengusirnya, hingga ia harus tertatih-tatih pergi menjauhiku.
Selembar surat aku baca. Ada pesan singkat di sana.
Sayang…
Sekarang kau bisa melihat langit kembali. Aku begitu bahagia.
Sayangku…
Tolong engkau jaga baik-baik kedua mata yang telah aku berikan kepadamu.
Yang menyayangimu,
(Tian)
Air mataku tumpah bersama air hujan yang membasahi selembar surat yang ku pegang sejak tadi. Aku tak kuasa membaca tulisan singkat yang tidak beraturan itu. Tetes air mataku kian memendarkan surat terakhirnya. Tulisan itu seakan telah menampar keegoisanku. Aku telah sombong dengan kedua mataku.
“Tian….!” Aku berteriak memanggil-manggil namanya. Aku tersadar kedua mataku ini adalah matanya. Kini ia telah pergi dengan mengenaskan. Dan itu berpunca dari sikapku yang salah.
Aku terlambat meminta maaf padanya. Dan aku baru sadar, kalau tubuh itu telah terbaring lemah di atas trotoar bersimbah darah. Aku telah menemukannya tak bernyawa lagi, setelah aku tega mengusirnya. Sesalku bertubi-tubi menghujani pikiranku.
Label:
thought