Aku kira mudah ya merangkai kata dalam otak yang sejatinya hati ini tak mengiyakannya. Detak jantung yang berdegup kencang terpecahkan oleh air mata yang tak terbendung lagi. Aku mengenalimu lebih dari 1/5 usiaku, terbilang singkat tapi lebih dari cukup. Aku tau kamu menginginkanku lebih dari ini, tapi ego yang tak tahu diri selalu mencuri beberapa nilai dari 100 yang ku taruh padamu, jadi tidak genaplah sudah. Sama kan seperti yang sudah-sudah dan mungkin kau bosan mendengernya hingga telapak tanganmu ingin kau lempar ke pipiku, kurang ajarnya aku. Maaf. Aku hanya tidak ingin kau kecewa dengan pilihanmu, aku tidaklah tepat, sudahi saja. Lihatlah dirimu sekarang, bercerminlah banyak cita yang pupus. Aku tak ingin lagi sisa harapanmu ikut lari menjauhimu, lebih baik aku saja. Sesak dada ini menahan gundah, lemas tangan ini merangkai kata yang seharusnya tak tertulis, lelah mata ini menahan tangis, sedih hati ini melihatmu layu. Ingatkah kamu saat aku berkata "Bagaimana jika nanti...." Dulu dengan lantang kamu menolaknya tapi kian ke mari pasrah yang terucap. Memang pantas aku mendapatkan kata itu, tapi kamu tidak. Kamu bisa lebih dari ini, tentunya jika tidak ada ilalang yang mengganggu pandangmu lurus ke depan. Mulailah buka jalanmu, cabut semua penghalang, dan luruskan pandangmu. Maaf aku harus berbelok arah, karna jalan yang akan dilalui tidak memungkinkan untuk 2 orang. Mungkin kalau di sana ada persimpangan, kita dapat bertemu lagi. Berdoa saja semoga Tuhan yang jadi arahmu tidak murka atasku. Sampai jumpa lagi di lain waktu, simpan saja rasa yang terus mengikutimu, mungkin aku sudah paham benar kamu. Dan kamu belum cukup tahu aku. Semoga beberapa bulan lagi kamu akan menjadi penghuni Ibu Kota yang penuh hiruk pikuk, pesanku sama gapai semua anganku, jangan ada aku yang kedua.
Jika suatu saat nanti kita bertemu, ingatkan aku bahwa aku pernah menitipkan sepucuk rindu padamu.