Aku berada di titik terendah, kabut tebal menutup pandangku. Sejenak tersadar, aku hilang arah. Inikah hidup, penuh dengan ilusi, otak teracuni, jiwa telah mati, iman rapuh. Hancur sudah. Masihkah tersisa harap? Aku tak tahu mungkin ada bahagia di balik ini semua.
Hilang sudah cita, laju hidup hanya mengikuti alur yang entah dimana ia akan bermuara. Aku hilang kendali, tak mampu menipu diri bahwa ini adalah kenyataan. Ini hidup. Dan aku hidup untuk hidup. Tapi aku telah mati. Ada bahagia, tapi aku sibuk memfikirkan aku yang telah mati. Hilang sudah pelitaku. Terpuruk dan tak mampu bangkit lagi. Disaat sekitarmu sedang berpacu capai akhir, aku disini teriris perih hingga mati perlahan. Dimana aku yang dulu, apakah dia lupa jalan kembali ke rumah setelah membara dalam belantara kehidupan? Jiwa ini rapuh termakan oleh kejamnya dunia. Aku kehilangan cara untuk memanggilnya pulang. Gelombang pasang saling beradu dan aku berada disana, capai daratan penuh juang. Tangisan mengiri doa yang berujung sirna. Sulit mendapatkanku kembali. Aku telah hilang dan entah kapan kembali. Belajar menikmati pahit, mencari hidup yang hilang. Aku bukan lagi yang dulu.
Jika memang tak bisa kembali biarlah aku hidup dalam jiwa yang telah mati. Hingga saatnya tiba, semua akan kembali.
Tak akan ada lagi air mata haru, hanya ada aku dan bahagia.
Menjadi sebuah tanda kekal bahwa aku pernah menjadi bagian dalam dunia ini.